Translate This Blog

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Senin, 21 Mei 2012

BERANDA DAPUR REDAKSI In Memoriam of Hasan Tiro, Wali Negara Aceh

Sepenggal Cerita Detik-detik Terakhir Walinanggro

alm. Teungku Hasan Muhammad Di Tiro

Aku menulis ini dalam cabikan kenangan, dengan kerinduan yang teramat sangat terhadap sosok ini. Sosok yang lahir di Pidie, 25 September 1925. Sang Wali Negara Aceh, Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Oktober 2009"Na, dipat posisi? Hana neujak keunoe, lagoe? Kamoe mandum ka meusapat bak Meuligoe Wali di Lamtemen. Bunoe na Munawar Liza cit. Pakon han neujak sigoe ngon gobnyan?"
"Meuah beurayeuk that, Bang. Lon tuan di UGD, saket. Saleum mantong keu rakan-rakan di sinan. Bah pajan laen Insya Allah lon kalon Wali."
Itu hari Wali memasuki rumah baru di Lamtemen.
2 Juni 2010Pagi."Kamoe na trok jamee dari Pusat. Awak nyan kalon Wali saket. Dron hana jak keunoe, Na? Ka padum uroe Wali saket."
"Lon tuan ban trok dari Sabang. Jinoe na acara siat bak Gedung Sultan II Selim, Seminar Acehnologi. Miseu kaleuh mandum urusan, enteuk lon jak u rumoh saket."
"Got. Enteuk neubithee teuma beuh, aleuh pajoh bu cot uroe lon keuneuk intat awak nyoe u bandara."
Malam."Bang, ke rumah sakit yuk, Na kepingin kali lihat Wali," ujarku pada Kamal Farza.
"Na yakin? Ini udah malam. Apa diizinkan masuk nanti?"
"Yakin. Na harus kesana malam ini, kalau enggak besok gak bisa ketemu lagi. Firasat Na gak enak."
"Baik. Tunggu sebentar ya, Abang telpon teman dulu."

Jadi, bertiga dengan Kamal Farza dan Fajran Zain, malam itu kami berkumpul halaman RSU Zainal Abidin, berbaur dengan puluhan orang yang juga ingin menjenguk Wali, tapi tak diperbolehkan masuk. Mereka saling bergumam dengan topik yang sama, berbincang tentang kondisi kesehatan Wali. Aku segera menghubungi temanku.
"Bang, Na di rumah sakit. Bisa masuk sekarang, gak?"
"Na, ini sudah malam, sudah hampir pukul 11. Tak bisa lagi berkunjung. Besok pagi saja balik kemari, bawa teman yang perempuan, karena kalau sendiri tak diizinkan masuk. Yang lain masuk atas nama partai, orang-orang GAM dari daerah."

"Na bukan anggota partai dan Na tetap ingin masuk, sendiri. Wali bukan milik KPA atau PA. Wali milik seluruh rakyat Aceh, dan Na perempuan Aceh. Na berhak melihat Wali Na," aku berkeras.
"Baik, tunggu di kantin, Abang turun."

Kami bertemu di kantin. Sambil menikmati semangkuk ice cream, pembicaran berputar-putar di topik itu, bisa tidak menjenguk Wali di kamarnya. Temanku menyerah pada sikapku. Setelah berwanti-wanti agar tak kecewa bila tak diizinkan masuk ke dalam, akhirnya berempat kami naik ke ruangan tempat Wali dirawat.
Sepanjang lorong dipenuhi kaum laki-laki. Aku satu-satunya wanita di situ, dan mereka menatapku dengan penuh tanda tanya. Aku tak peduli.

Pintu kaca menuju ruangan tempat Wali dirawat dijaga oleh pengawal, luar-dalam. Aku mencari akal untuk masuk ke dalam.
"Tak bisa masuk, Na, kecuali tadi Na datang dengan teman perempuan. Lagi pula ini sudah jam 11. Yang dizinkan masuk hanya keluarga dan orang-orang terdekat," ujar temanku.
"Pokoknya Na mau bertemu Wali malam ini. Harus malam ini, Na gak bisa menunggu sampai besok. Na akan tidur di depan pintu itu sampai Na diizinkan masuk."
"Sabarlah."

Aku berdiri di dinding, antri bersama barisan panjang laki-laki yang entah sudah berapa lama berdiri di situ. Aku berdo'a, berharap keajaiban muncul. Hampir setengah jam berlalu, kemudian tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki bersama seorang wanita dan anak kecil. Laki-laki itu telah melewatiku beberapa langkah di lorong, lalu berbalik dan menyalamiku. Wajahnya tak asing bagiku, dan mungkin wajahku juga tak asing baginya. Tanpa suara aku bertanya pada temanku yang berdiri di kejauhan. "Itu Musanna Tiro?" Ia menganguk, berbicara pelan pada Musanna, dan memberikan isyarat padaku aku mendekat.
"Masih ingat Na? tanyaku pada Musanna. Kami cukup lama berhubungan di dunia maya. Sejak Wali pulang ke Aceh di Tahun 2008 sudah beberapa kali aku ditawari untuk mampir menjenguk Wali ke rumah.

"Iya, yang dari Sabang, kan? Apa kabar?
"Baik, Bang. Kapan sampai ke Aceh? setahuku dia di Amerika.
"Belum lama. Tadi  mampir dulu ke kampung," ujarnya sambil memperkenalkan istri dan anaknya.
"Na minta maaf, baru kali ini bisa menjenguk Wali," ujarku dengan perasaan bersalah.
"Iya, tak mengapa, saya mengerti, Na sibuk. Saya tinggal dulu ya," ujarnya seraya masuk ke dalam. Tinggallah aku dan istrinya bercakap-cakap ringan tentang keadaan masing-masing. Sekitar 20 menit kemudian keluar salah seorang pengawal menjumpai kami, meminta kami masuk ke dalam. Aku masuk, diiringi tatapan puluhan pasang mata.

Ruangan itu steril, pengunjung diminta memakai masker. Aku mengikuti istri Musanna memasuki kamar pertama disebelah kiri, tempat seorang perempuan berbaring. Seorang wanita yang berusia lebih muda duduk di lantai, dan segera bangkit menyalami kami. Rupanya wanita yang lebih tua itu baru kecelakaan, jatuh di kamar mandi. Masih keluarga Wali juga. Tak ingin mengganggu wanita yang sedang beristirahat, kami segera beranjak meninggalkan kamar, menuju ruangan tempat Wali di rawat.

Pandangan mataku terpaku menatap sosok yang terbaring di ranjang. Selimut menutupi tubuh ringkihnya sampai sebatas dada. Tanpa pakaian. Kabel warna-warni melekat di tubuhnya, paling banyak di bagian kepala. Sebuah monitor terus memantau fungsi vital organ tubuhnya. Grafik naik turun itu mencuri perhatianku. Angka bergerak naik turun tak beraturan, kadang-kadang mencapai angka 0, yang membuat nafasku berhenti sesaat sambil berdo'a supaya Tuhan tidak menyiksa beliau dalam penderitaan yang panjang, sekaligus juga tak ingin beliau pergi untuk selama-lamanya.

Istri dr. Zaini duduk di kursi sebelah kanan Wali. Baru selesai membaca Yasin. dr. Zaini tadi kulihat pergi mendampingi Mentroe. Irwandi entah kemana, mungkin sedang beristirahat di salah satu kamar, karena mobilnya masih parkir di bawah. Terpisah dengan gorden, ada pasien lain sedang dirawat.

Aku mengambil Yasin dan bergerak ke tepi ranjang. Seorang laki-laki yang tak kukenal juga duduk di tepi ranjang. Sesekali laki-laki itu berbisik 'La ilaha Ilallah' ke telinga Wali. Seorang perawat muda datang. Gadis itu mengambil kapas basah dan mengusap ke mata Wali sambil mengucapkan 'Allah, Allah'. Aku tak sanggup melihat pemandangan itu, jadi kumulai membuka dan membaca Yasin dengan perlahan.

Disudut kamar, dekat dinding, istri Musanna sedang bercerita perlahan dengan istri dr. Zaini yang rupanya sudah bergerak meninggalkan tepi ranjang. Sesekali terdengar tawa kecil mereka. Aku dapat merasakan mereka menatapku dari kejauhan sambil berbisik. Wajar, mengingat amat terbatas orang yang dapat masuk ke dalam dan bertemu langsung dengan Wali dalam kondisi seperti ini. Alasan lain mungkin pakaianku. Aku mengenakan blue jeans, sementara yang lain mengenakan rok. Ya sudahlah, pikir ku. Aku datang kemari untuk berdo'a, bukan untuk ikut peragaan busana.

Kuselesaikan bacaan Yasin ku sampai tiga kali. Aku tak tahu apakah Bang Kamal dan Fazran masih menungguku di luar. HP kumatikan. Adegan pembacaan Yasin ku diselingi dengan kehadiran perawat dan dr. Zaini yang datang dan pergi mengecek kondisi Wali. Beberapa kali perawat dengan jarum suntik besar datang, saat angka di monitor menunjukkan angka 0. Wali bernafas dengan sangat berat, walaupun dibantu dengan berbagai alat penunjang hidup. Aku merasa iba. Sosok ini begitu berpengaruh di dunia internasional. Orang besar, dengan tubuh yang kecil. Sayang sekali, disaat-saat seperti ini tak ada istri atau anak yang mendampingi. Hidupnya didedikasikan sepenuhnya untuk Aceh yang begitu dicintainya, melebihi segala-galanya. Kini hidupnya bergantung pada alat-alat penunjang hidup dan suntikan. Bila ada orang yang berniat tidak baik..... Ah! cepat kutepis bayangan buruk itu. Takkan ada orang yang cukup gila untuk membunuh 

Wali di Aceh. Aku terlalu banyak membaca novel Agatha Christie, huft.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari ketika aku pamit. Kondisi Wali belum ada kemajuan. Musanna sedang bermain angka dalam Bahasa Inggris dengan gadis ciliknya. Aku ditawari menginap, tapi ku tolak, sambil berjanji bahwa besok pagi aku akan kembali lagi kemari.
3 Juni 2010Pagi."Dipat droneuh Na? Poh padum woe dari rumoh saket beuklam? Hana neubalek lom keunoe?
"Lon tuan di Bitay, Bang. Beuklam ka poh 2 lon woe dari rumoh saket. Na diyue dom inan, tapi han lon tem. Siat teuk lon balek beuh. Lon meujak u peukan siat. Keuneuk bloe bajee." Semalam aku sempatkan diri search di internet tentang Hasan Tiro, dan ku dapatkan sepotong informasi bahwa beliau suka berpakaian rapi dan resmi. Jadi ku putuskan untuk membeli setelan resmi untuk kupakai saat menjenguk beliau pagi ini.

Telpon berdering lagi saat ku sedang berbelanja. "Pakon trep that, pue bajee neu bloe?"
"Blazer, resmi, hitam, tapi kon setelan rok. Pue jeut?"
"Jeut, tapi bek ketat beuh."
"Bereh. Enteuk lon gantoe bajee di rumoh saket mantong. Nyoe ka keumah."
Buru-buru aku menyetop becak. Lalu lintas padat. Kami mengambil rute dari Kuta Alam ke Jambo Tape. Tepat di depan Toko Buku Zikra lewat mobil “Aceh-1” dan pengawalnya. Pengawalnya memberikan isyarat tangan agar kami menepi. Mobil dikendarai dengan kecepatan tinggi. "Mungkin ada tamu penting dari Jakarta," pikirku. Karena seharusnya Irwandi ada di rumah sakit saat ini.
Tepat di depan RSUZA telpon berdering lagi.
"Na, Wali ka meninggai. Ban saknyoe. Dipat droneuh?"
"Lon dikeue rumoh saket. Pue lon tamong u dalam?"
"Bek neutamong le. Le that ureung. Neupreh haba dari lon."
"Get." Kuperhatikan jam, tepat pukul 12:15.

Aku putuskan untuk bergabung dengan Kamal Farza dan Jauhari Samalanga di Lampineung, duduk di salah satu warung kopi sambil memandangi bungkusan baju baru ditanganku dengan lutut gemetar. Aku masih shock. Kucubit pahaku keras-keras dari bawah kolong meja, meyakinkan diri ini bukan mimpi. Sakit ini begitu nyata. Wajah ku pucat pasi. Seperti orang bodoh ku tanyakan pada kedua teman ku, "Kalian tahu Wali sudah meninggal?" Serentak mereka mengangguk. Aku terdiam, tak tahu harus mengatakan apa lagi.
Dering telpon berikutnya meminta ku menuju Mesjid Raya. Becak yang ku tumpangi tiba bersamaan dengan mobil Nazar di gerbang kiri mesjid. Jenazah Wali belum tiba. Aku menunggu di tepi jalan. Rasanya begitu lama. Aku merasa tersesat di tengah kepadatan manusia dan kendaraan yang berlalu lalang. Seperti anak ayam kehilangan induk.
Temanku menelpon lagi.
"Na neumee mukena, Na? Menyoe na, neutamong u dalam mesjid. Siat teuk kamoe ka trok u Mesjid Raya."
"Hana, Bang. Lon preh di lua mantong."
"Jeut cit. Pue na ngon inan?"
"Hana, sidroe sagai."
"Neupreh dikeu mesjid, enteuk neuek moto sajan ngon poe rumoh dr. Zaini. Kaleuh lon peugah bunoe. Tanyoe jak antat Wali u Meureue. Neugantoe aju bajee."

Aku melambaikan tangan menyetop becak dan pulang ke rumah. Rasa kaget ku telah hilang, digantikan oleh rasa kehilangan dan kesedihan yang menjalar dengan cepat ke seluruh simpul syaraf ku.  Hanya Wali yang boleh melihat ku mengenakan blazer hitam itu pada hari itu. Jadi aku memutuskan untuk pulang, berduka dan berbagi kesedihan dengan diri ku sendiri. Aku tak sudi berbagi air mataku dengan orang-orang yang tak ku kenal.

Kenduri mulai hari pertama sampai hari ke seratus wafatnya Wali terus mengalir dari Musanna. Tak satu pun ku hadiri sampai-sampai setengah bergurau setengah kesal ia mengatakan takkan mengundang ku lagi bila aku terus-terusan tak hadir. Aku tak sanggup, bukan tak mau. Enam bulan kemudian baru aku sanggup berziarah ke Meureue. Dalam rentang waktu 6 bulan itu aku terus menerus menyalahkan diri ku sendiri. Mengapa aku harus pulang malam itu. Mengapa tak tinggal saja di rumah sakit, mendampingi Wali pada saat-saat terakhirnya. Mengapa dan mengapa itu tetap bergema sampai sekarang. Yang paling bergema dan menusuk pikiran ku adalah mengapa sepeninggal Wali kita jadi begini?

The Island, Desember 15, 2011.

Nurlina


Diposkan oleh Tabloid SUARA PUBLIK di 20:29

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blogger Gadgets