Translate This Blog

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 08 Desember 2012

Keberlanjutan Pendampingan dan Fasilitasi yang Efektif

Pilar Kedua : Keberlanjutan Pendampingan

Pernyataan Kebijakan:
Keberlanjutan Pendampingan dan Fasilitasi yang Efektif

Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan berbagai pihak, masyarakat, pemerintah (daerah beserta perangkat kerjanya), dan dunia usaha untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang telah dicapai.  Salah satu unsur keberhasilan PNPM Mandiri terkait erat dengan fasilitasi dan pendampingan masyarakat yang efektif.

Temu Nasional PNPM Pertama (2008), mengeluarkan 7 (tujuh) deklarasi yang salah satunya merekomendasikan untuk "Memperkuat kapasitas dan kompetensi pendamping masyarakat sebagai ujung tombak pemberdayaan masyarakat serta pengakuan terhadap profesi dan kinerja untuk mewujudkan kewirausahaan sosial". 

Deklarasi tersebut merupakan pengakuan terhadap peran kunci fasilitator dan pendamping masyarakat, sekaligus menegaskan kembali misi fasilitator dan kegiatan fasilitasi untuk mewujudkan tujuan-tujuan PNPM Mandiri.  Untuk itu, diperlukan peningkatan kompetensi dan kapasitas fasilitator, sehingga selanjutnya fasilitasi dan pendampingan masyarakat dilaksanakan oleh fasilitator dan pendamping yang handal yang berbasis standar kinerja fasilitator, serta berpedoman pada standar perilaku fasilitator pemberdayaan masyarakat.

Fasilitasi dan pendampingan Masyarakat dilaksanakan dengan memfokuskan dan meningkatkan peran: (i) Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat,  (ii) Pendamping Lokal yang berasal dan bekerja bersama masyarakat, dan (iii) Pemandu Pemberdayaan Masyarakat yang berasal dari aparat Pemerintah Daerah.

Beberapa upaya peningkatan efektifitas perlu dilakukan dalam rangka keberlanjutan penyelenggaraan pendampingan, diantaranya adalah (i) Pengakuan profesi fasilitator pemberdayaan masyarakat melalui sertifikasi oleh lembaga sertifikasi fasilitator pemberdayaan masyarakat, (ii) Mewajibkan setiap program pemberdayaan masyarakat menggunakan fasilitator dan pendamping masyarakat yang memiliki sertifikasi sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat, dan (iii) Memperbaiki standar imbalan kerja beserta dukungan operasional yang memadai.   Peningkatan kompetensi dan kapasitas fasilitator tersebut pada hakekatnya merupakan upaya berkelanjutkan untuk memelihara investasi dan mengembangkan aset sumber daya manusia yang memfasilitasi kegiatan pemberdayaan  masyarakat dan pembangunan masyarakat pada umumnya.

Langkah Kebijakan 2.1 :

Meningkatkan Kapasitas dan Standar Kompetensi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat melalui Penguatan terhadap Lembaga Sertifikasi Profesi

Sesuai dengan ketentuan, Lembaga Sertifikasi Profesi sebagai lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi profesi perlu mendapatkan lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) melalui proses akreditasi (bimbingan teknis, penyusunan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI), Lokakarya/Workshop, pra-Konvensi dan Konvensi, dan lainnya).   Pada tanggal 22 Agustus 2011, pembentukan LSP telah disepakati pemangku kepentingan pemberdayaan masyarakat dari unsur-unsur: Kementerian terkait dengan PNPM Mandiri, Asosiasi Profesi, Perguruan Tinggi, dan LSM.  Pembentukan LSP sudah dikukuhkan dengan Akta Notaris di Jakarta.

Melalui serangkaian lokakarya/workshop, seminar dan pertemuan digagas persiapan pembentukan LSP oleh Kementerian Dalam Negeri, Ditjen PMD didukung oleh Kemenkokesra/Pokja Pengendali PNPM Mandiri, Kementerian PPN/BAPPENAS-Deputi Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan UKM, Kementrian PDT-Deputi Pengembangan Daerah Khusus, dan Kementrian PU-Ditjen Cipta Karya; juga telah berhasil membentuk dan mengesahkan Dewan Pengarah dan Badan Pelaksana LSP.   

Selain pembentukan LSP, juga telah dirampungkan penyusunan RSKKNI sebagai dokumen dan acuan proses sertifikasi, dan melalui bimbingan teknis dan konvensi yang mengundang pemangku kepentingan kegiatan pemberdayaan masyarakat telah disepakati dan ditetapkan SKKNI.  Selanjutnya, SKKNI akan memperolah pengesahan dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 

Standarisasi kompetensi diperlukan selain untuk menjamin adanya aturan dan kriteria yang akan menjadi acuan dalam menentukan tingkatan kualifikasi, juga menjadi acuan bagi pihak terkait dalam dalam penentuan remunerasi.

Sasaran Akhir

  • Rumusan kebijakan peran K/L dalam meningkatkan kompetensi fasilitator yang bekerja dalam program pemberdayaan masyarakat.

Langkah Aksi

  1. Kajian tentang strategi penguatan kapasitas dan standar kompetensi fasilitator dan bentuk-bentuk dukungan yang perlu diberikan oleh pemerintah sebagai bahan merumuskan kebijakan di atas,
  2. Workshop untuk membangun konsensus antara pemerintah dan asosiasi pendamping pemberdayaan masyarakat mengenai standar kompetensi.

Langkah Kebijakan 2.2 :

Penyusunan Standar Remunerasi  Profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat setara dengan Profesi Pengabdian lainnya

Seiiring dengan peningkatan kompetensi fasilitator pemberdayaan masyarakat, serta memperhatikan pula pengaturan kerangka kualifikasi nasional Indonesia (Perpres no.8 tahun 2012), perlu dirumuskan standar remunerasi bagi fasilitator pemberdayaan masyarakat dengan mempertimbangkan pola kerja pendampingan yang harus bekerja bersama masyarakat, keragaman kondisi geografis, kondisi sosial dan ekonomi di berbagai wilayah, serta tantangan untuk terus memperluas wawasan pengetahuan, serta integritas untuk menjaga prinsip dan nilai-nilai partisipatif (transparansi, akuntabilitas, dan lainnya).

Uji kompetensi juga akan menghasilkan atau memberikan pengakuan jenjang kualifikasi yang dapat menjadi basis untuk merumuskan standar remunerasi  yang lebih sesuai.

Sasaran Akhir

Tersedianya standar remunerasi bagi fasilitator pemberdayaan masyarakat, dan diharapkan juga menjadi pedoman bagi pemangku kepentingan lainnya untuk mengalokasikan pembiayaan pendampingan.

Langkah Aksi

  1. Kajian untuk merumuskan faktor determinan dalam penentuan remunerasi untuk pekerjaan non-standar sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat dengan referensi dari remunerasi  yang diterima oleh profesi lainnya (guru, penyuluh, dan lainnya),
  2. Lokakarya/Workshop untuk merumuskan standar remunerasi  beserta tunjangan operasional bagi fasilitator pemberdayaan masyarakat, termasuk model insentif lainnya (beasiswa, termasuk asuransi, dan lainnya) yang dapat menjadi pilihan bagi fasilitator pemberdayaan masyarakat.

Langkah Kebijakan 2.3 :

Peningkatan Peran dan Kapasitas Kader Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Keberlanjutan Pemberdayaan

Keberadaan kader pemberdayaan yang sudah dilatih oleh berbagai program pemberdayaan (seperti  Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa/KPMD,  Setrawan, dan lainnya) perlu diberi ruang dan diperjelas pelibatan mereka agar mereka dapat menjadi pelaku pemberdayaan di daerahnya bekerja bersama-sama dengan fasilitator yang disediakan program. Diharapkan dengan pelibatan para kader secara resmi, akan terjadi alih keahlian dan pengetahuan dari fasilitator kepada kader lokal sehingga kader-kader lokal ini nantinya dapat melanjutkan proses pemberdayaan masyarakat di desa masing-masing. Pelatihan kader perlu mendapat perhatian agar terjadi kesinambungan pemberdayaan. Kader pemberdayaan masyarakat merupakan asset yang perlu dikembangkan dan ditingkatkan untuk menjamin keberlanjutan pemberdayaan di daerah.

Sasaran Akhir

Rumusan kebijakan peningkatan peran kader pemberdayaan masyarakat untuk menjamin keberlanjutan pendamping dalam pemberdayaan masyarakat.

Langkah Aksi

  1. Kajian atas Permendagri no.7 tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat.
  2. Identifikasi berbagai jenis kader pemberdayaan yang tersedia dan peranan eksisting mereka secara aktif dalam konteks pelaksanaan program,
  3. Kajian untuk melakukan redefinisi peranan kader agar dapat terlibat aktif dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat guna menjamin keberlanjutan pemberdayaan di desa/kelurahan, 
  4. Penyusunan bahan pelatihan kader eksisting untuk disesuaikan dengan kebutuhan keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat.

Langkah Kebijakan 2.4 :

Mengembangkan Kerjasama dengan Perguruan Tinggi untuk Membentuk Program Studi Pemberdayaan Masyarakat guna meningkatkan Kapasitas dan Kompetensi setiap Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat

Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat selama ini merupakan kumpulan pengalaman praktis nyata dan pembelajaran langsung yang sangat penting sebagai sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Sebaliknya, ilmu-ilmu sosial di perguruan tinggi perlu berinteraksi dengan pengalaman nyata pelaku pemberdayaan di lapangan dan mengembangkannya sedemikian rupa sebagai salah satu bidang keahlian strategis yang bermanfaat bagi keberlanjutan upaya pemberdayaan masyarakat.  Program studi ini ditujukan bagi fasilitator PNPM Mandiri, serta seluruh pendamping program pemberdayaan lainnya.

Sasaran Akhir

  • Naskah akademis pembentukan  program studi pemberdayaan masyarkat untuk digunakan dalam membangun kerjasama dengan perguruan tinggi. 
  • Naskah Perjanjian Kerjasama antara Pokja Pengendali dan Perguruan Tinggi dalam pembentukan program studi.

Langkah Aksi

  1. Workshop penyusunan naskah akademik dan perjanjian kerjasama pembentukan program studi pemberdayaan masyarakat, 
  2. Sosialisasi pembentukan program studi pemberdayaan ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Blogger Gadgets